Minggu, 03 Mei 2020

Laporan Pemeriksaan Retikulosit

LAPORAN PRAKTIKUM HEMATOLOGI III

(Pemeriksaan Retikulosit)


NAMA : NUR SYAFAH SAMAL

NIM : 18 3145 353 071

KELAS : 18B





PROGRAM STUDI DIV TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIS

FAKULTAS FARMASI, TEKNOLOGI RUMAH SAKIT DAN INFORMATIKA

UNIVERSITAS MEGAREZKY

MAKASSAR

2020






BAB I

PENDAHULUAN


A. LATAR BELAKANG

Darah merupakan jaringan yang membentuk cairan yang terdiri atas dua bagian besar, yaitu: bagian cair, berupa plasma atau serum dan korpuskuli yakni material darah yang terdiri atas sel-sel darah: sel darah putih (leukosit), sel darah merah (eritrisit), dan sel pembeku darah (trombosit). bagian cair pada darah berupa plasma atau serum (Kurniawan, 2018).

Retikulosit adalah Sel Darah Merah (SDM) yang masih muda yang tidak berinti dan berasal dari proses pematangan normoblas di sumsum tulang. Sel ini mempunyai jaringan organela basofilik yang terdiri dari RNA dan protoforpirin yang dapat berupa endapan dan berwarna biru apabila dicat dengan pengecatan biru metilin (Suega, 2010).

Retikulosit merupakan parameter yang umum digunakan sebagai penentu keberhasilan terapi pada anemia defisiensi besi, yang menunjukkan respon fisiologis tubuh dengan meningkatkan produksi sel darah merah (Ivana dan Gunawan, 2019).

Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin (Hb) dalam darah kurang dari normal. Faktor-faktor penyebab anemia gizi besi adalah status gizi yang dipengaruhi oleh pola makanan, sosial ekonomi, lingkungan dan status kesehatan. Selain itu penyebab anemia gizi besi dipengaruhi oleh kebutuhan tubuh yang meningkat, akibat mengidap penyakit kronis dan kehilangan darah karena menstruasi dan infeksi parasit cacing (Ivana dan Gunawan, 2019).

Defisiensi besi didefinisikan sebagai penurunan total kandungan besi dalam tubuh yang ditandai dengan turunnya kadar feritin atau saturasi transferin. Sedangkan ADB terjadi saat kondisi DB terjadi cukup berat sehingga mengurangi proses eritropoisis. Kekurangan besi dengan atau tanpa anemia, terutama yang berlangsung lama dan terjadi pada usia 0-2 tahun dapat mengganggu tumbuh kembang anak, antara lain menimbulkan defek pada mekanisme pertahanan tubuh dan gangguan pada perkembangan otak (Sandry dan Andriastuti, 2019).

Anemia defisiensi besi merupakan masalah yang yang paling lazim di dunia dan menjangkit lebih dari 600 juta remaja. Di Indonesia anemia defisiensi besi pada remaja putri merupakan salah satu masalah gizi yang harus ditangani secara serius. Anemia defisiensi besi di Indonesia menjadi masalah kesehatan dengan prevelensi lebih dari 15% (Ivana dan Gunawan, 2019).

Penghitungan jumlah retikulosit ini bisa dilakukan dengan metode manual menggunakan pengecatan supravital dan bisa dengan analias otomatis flowsitometer (Suega, 2010).

Berdasarkan uraian diatas, maka dilakukanlah praktikum pemeriksaan hitung jumlah retikulosit menggunakan pengecatan supravital dengan menggunakan larutan brilliant cresyl blue.


B. TUJUAN

Untuk mengetahui jumlah dari sel retikulosit sehingga dapat membantu dalam diagnosa anemia. 




BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI DARAH

Darah adalah jaringan tubuh yang berbeda dengan jaringan tubuh lain, berada dalam konsistensi cair, beredar dalam suatu sistem tertutup yang dinamakan sebagai pembuluh darah dan berfungsi sebagai sarana transpor, alat homeostasis dan alat pertahanan. Darah dibagi menjadi dua bagian yaitu sel darah dan cairan darah. Sel darah terdiri dari sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (lekosit) dan keping sel (trombosit). Cairan darah yang terpisah dari sel darah yaitu plasma atau serum (Maharani dkk, 2017).

Menurut Kurniawan, (2018) menjelaskan tentang peranan penting darah dalam berbagai fungsi tubuh yaitu: 

  1. Penapasan
  2. Nutrisi
  3. Ekskresi
  4. Kekebalan tubuh (imunitas)
  5. Korelasi hormonal
  6. Keseimbangan air dalam tubuh
  7. Pengatur suhu
  8. Tekanan osmotik
  9. Keseimbangan asam basa
  10. Pengatur tekanan darah 

Darah manusia adalah cairan jaringan tubuh. Fungsi utamanya adalah mengangkut oksigen yang diperlukan oleh sel-sel di seluruh tubuh. Darah juga menyuplai tubuh dengan nutrisi, mengangkut zat-zat sisa metabolisme, dan mengandung berbagai bahan penyusun sistem imun yang bertujuan mempertahankan tubuh dari berbagai penyakit. Manusia rata-rata mempunyai enam liter darah atau sekitar 8% dari total berat badan manusia. Apabila contoh darah diambil kemudian dimasukkan kedalam tabung reaksi lalu disentrifugasi maka tampak darah tersusun atas 55 % plasma darah dan 45 % sel darah.  Darah berbentuk cairan yang berwarna merah, agak kental dan lengket. Darah mengalir di seluruh tubuh kita, dan berhubungan langsung dengan selsel di dalam tubuh kita. Darah terbentuk dari beberapa unsur, yaitu plasma darah, sel darah merah, sel darah putih dan keping darah. Plasma darah merupakan komponen terbesar dalam darah, karena lebih dari separuh darah mengandung plasma darah. Hampir 90% bagian dari plasma darah adalah air (Bararah dkk, 2017).


B. STRUKTUR ERITROSIT DAN RETIKULOSIT

Sel darah merah (eritrosit) merupakan cairan bikonkaf dengan diameter sekitar 7 mikron. Bikonkavitas memungkinkan gerakan oksigen masuk dan keluar sel secara cepat dengan jarak yang pendek antara membrane dan inti sel. Warnanya kuning kemerah-merahan, karena didalamnya mengandung suatu zat yang disebut hemoglobin (Handayani dan Haribowo, 2008).

Sel darah merah tidak memiliki inti sel, mitokondria dan ribosom, serta tidak dapat bergerak. Sel ini tidak dapat melakukan mitosis, fosforilasi oksidatif sel, atau pembentukan protein (Handayani dan Haribowo, 2008).

Terdapat sekitar 300 molekul hemoglobin dalam setiap sel darah merah. Hemoglobin berfungsi untuk mengikat oksigen, satu gram hemoglobin akan bergabung dengan 1,34 ml oksigen (Handayani dan Haribowo, 2008).

Retikulosit adalah Sel Darah Merah (SDM) yang masih muda yang tidak berinti dan berasal dari proses pematangan normoblas di sumsum tulang. Sel ini mempunyai jaringan organela basofilik yang terdiri dari RNA dan protoforpirin yang dapat berupa endapan dan berwarna biru apabila dicat dengan pengecatan biru metilin. Retikulosit akan masuk ke sirkulasi darah tepi dan bertahan kurang lebih selama 24 jam sebelum akhirnya mengalami pematangan menjadi eritrosit. Pada pasien tanpa anemia hitung retikulositnya berkisar antara 1–2%. Jumlah ini penting karena dapat digunakan sebagai indicator produktivitas dan aktivitas eritropoiesis di sumsum tulang dan membantu untuk menentukan klasifikasi anemia sebagai hiperproliferatif, normoproliferatif, atau hipoproliferatif. Penghitungan jumlah retikulosit ini bisa dilakukan dengan metode manual menggunakan pengecatan supravital dan bisa dengan analias otomatis flow sitometer (Suega, 2010).

Pada orang dewasa, sekitar 2 juta sel darah merah baru diproduksi setiap detik. Seiring dengan pematangan sel, diperlukan waktu beberapa hari untuk sel berisi hemoglobin ini menyingkirkan sisa RNA sitoplasma setelah nukleus dikeluarkan. Retikulosit ini sering dapat dibedakan pada apusan darah yang diwarnai Wright karena ukurannya yang besar dan warnanya keabu-abuan atau ungu. Retikulosit biasanya berada di darah selama 24 jam sebelum mengeluarkan sisa RNA dan menjadi sel darah merah. Apabila retikulosit dilepaskan secara dini dari sumsum tulang, retikulosit imatur dapat berada di sirkulasi selama 2-3 hari. Pada pasien tanpa anemia hitung retikulositnya berkisar antara 1-2%. Jumlah ini penting karena dapat digunakan sebagai indikator produktivitas dan aktivitas eritropoiesis di sumsum tulang dan membantu untuk menentukan klasifikasi. Retikulosit merupakan parameter yang umum digunakan untuk menilai keberhasilan terapi besi pada anemia defisiensi besi (Ivana dan Gunawan, 2019).

Ambang normal retikulosit adalah 10 – 100 x 109/L. Retikuosit adalah ertrosit premature di mana terdaapat sisa-sisa nukleprotein yang tampak sebagai pita halus reticular. Ukurannya lebih besar dibandingkan dengan eritrosit matur, dan jika meningkat, bisa menyebabkan makrositosis (Rubenstain et al, 2007).

Adanya peningkatan (retikulositosis) menunjukkan hiperaktivias sumsum tulang akibat, hilangnya atau destruksi eritrosit misalnya perdarahan, respons terhadap pengobatan anemia misalnya pada anemia pernisiosa dengan vitamin B12 atau hemolisis (Rubenstain et al, 2007).


C. ERITROPOIESIS

Seperti sel lainnya yang beredar didarah tepi, sel darah merah berasal dari pluripotential hematopoitic stem cell dibawah pengaruh lingkungan mikro sumsum tulang dan beberapa jenis sitokin tertentu yang bekerja pada fase awal dari hematopoiesis. Sel induk ini akan berkembang menjadi stem cell yang committed untuk satu jenis sel darah. Pada proses eritropoiesis sel ini disebut sebagai committed eritroid progenitor cell. Pada fase ini sel ini belum bisa dibedakan dengan stem cell lainnya dan seperti juga stem cell, sel induk eritroid ini beredar secara bebas didarah tepi. Pada tingkat ini mulai akan diekspresikan reseptor sitokin khusus yaitu EpoR (receptor for erythropoietin). Eritropoitin ini akan merangsang proses proliferasi dan hiperplasia dari sel induk eritroid. Apabila eritropoitin ini tidak ada maka sel induk eritroid akhirnya akan mati (apoptosis). Eritropoitin manusia merupakan glikoprotein 193-amino acid dengan berat molekul 34KD. Sekitar 90% eritropoitin ini dihasilkan di ginjal dan sisanya berasal dari organ ekstrarenal (Seuga, 2010).

Hipoksia atau anemia akan merangsang sel yang memproduksi eritropoietin akan membuat dan melepaskan eritropoietin ini kedalam darah dan akan beredar menuju ke jaringan yang membutuhkannya terutama sel progenitor eritroid di sumsum tulang untuk memacu proses pembentukan SDM (eritropoiesis). Sebagai akibatnya akan terjadi peningkatan pelepasan retikulosit ke darah tepi sehingga bisa mengatasi keluhan anemia. Sehingga apabila didapatkan kosentrasi retikulosit yang rendah pada penderita dengan infeksi kemungkinan hal ini disebabkan oleh karena produksi eritropoietin yang tidak adekuat atau respon sel induk eritroid yang sub optimal. Oleh karena aktivitas eritropoitin ini sangat spesifik terhadap sel eritroid. Maka sekarang ini banyak dikembangkan rekombinan eritopoitin yang bersal dari manusia, yang digunakan secara luas untuk mengobati penderita anemia pada gagal ginjal atau penekanan sumsum tulang akibat keganasan. Bahkan akhir-akhir ini banyak diduga disalahgunakan sebagai doping oleh para atlit papan atas untuk meningkatkan performannya (Seuga, 2010).


Dibawah pengaruh eritropoietin maka sel induk eritroid akan membelah dan berdiferensiasi. Mula-mula akan muncul sel pronormoblast yang merupakan sel besar dan pada sel inilah pertama kali ditemukan adanya pembentukkan hemoglobin. Dan mulai fase ini sel muda dari garis keturunan eritroid dapat dikenali secara morfologi. Selanjutnya pematangan akan terjadi di sumsum tulang dimana sel proeritroblast akan menjadi basophilic normoblast, polychromatophilic normoblast, orthochromatophilic normoblast, dan pada akhirnya akan mematangkan diri menjadi retikulosit. Setiap langkah pematangan tersebut akan diikuti dengan perubahan berupa peningkatan jumlah hemoglobin, ukuran menjadi lebih kecil, inti sel menjadi lebih piknotik yang pada akhirnya akan menghilang pada saat sel ini akan dikeluarkan dari sumsum tulang. Retikulosit yang baru dikeluarkan dari sumsum tulang masing mengandung ribosomedan RNA dan masih terus memproduksi hemoglobin. Setelah 1 –2 hari di darah tepi retikulosit akan kehilangan ribosome dan RNA nya dan akan menjadi sel eritrosit matang (Seuga, 2010).


D. PERKEMBANGAN DAN PEMATANGAN RETIKULOSIT

Selama proses eritropoiesis sel induk eritrosit yang paling tua atau late-stage erytroblasts akan mengalami pematangan dengan menghilangnya inti sehingga menjadi retikulosit. Dalam periode beberapa hari proses pematangan ini ditandai dengan:

  1. Penyempurnaan pembentukan hemoglobin dan protein lainya seperti halnya sel darah merah yang matang
  2. Adanya perubahan bentuk dari besar kelebih kecil, unifom dan berbentuk biconcave discoid
  3. Terjadinya degradasi protein plasma dan organel internal serta residual protein lainnya (Seuga, 2010).

Bersamaan dengan adanya perubahan intrinsik ini retikulosit akan bermigrasi ke sirkulasi darah tepi. Namun demikian populasi retikulosit ini bukanlah sesuatu yang homogen oleh karena adanya tingkatan maturasi yang berbeda dari retikulosit tersebut. Dengan meningkatnya rangsangan eritropoisis seperti misalnya adanya proses perdarahan atau hemolisis, jumlah dan proporsidari sel retikulosit muda akan meningkat baik didalam sumsum tulang maupun didarah tepi. Ada perbedaan masa hidup antara retikulosit normal dan retikulosit muda (imatur) yaitu membrane retikulosit imatur akan lebih kaku dan tidak stabil, disamping itu retikulosit imatur ini masih mempunyai reseptor untuk protein adesif sedangkan retikulosit normal telah kehilangan reseptor ini begitu sel ini bermigrasi ke perifer. Suatu studi memperkirakan lama waktu tinggal retikulosit disumsum tulang sebelum memasuki sirkulasi darah tepi bervariasi antara 17 jam pada tikus normal sampai 6,5 jam pada tikus yang menderita anemia (Seuga, 2010).

Walaupun retikulosit baik disumsum tulang maupun didarah tepi bisa dipisahkan dari kontaminasi sel yang sama dari kompartemen yang berbeda akan tetapi pemisahan ini tidak sempurna sekali sehingga metode untuk membedakan masih perlu disempurnakan untuk mengetahui dengan tepat fungsi fisiologisdan maturasi dari retikulosit. Diperkirakan waktu pematangan retikulosit adalah berkisar antara 2–5 jam, tergantung metode yang dipakai, spesies yang dipelajari dan juga tingkat stimulasi proses eritropoesis tersebut.  Faktor yang menentukan kapan retikulosit keluar dari sumsum tulang ke sirkulasi masih belum jelas diketahui (Seuga, 2010).

Retikulosit yang sangat muda (imatur) adalah retikulosit yang dilepaskan kedarah tepi akibat adanya rangsangan akiba tanemiadanhalinidisebutstressed reticulocyte. Retikulosit jenis ini mempunyai masa hidup invivo yang lebih pendek apabila ditranfusikan kedalam resipien normal dan secara umum dianggap sel ini tidak normal karena tidak melalui perkembangan sel yang normal sampai ke divisi terminal dari perkembangan retikulosit (Seuga, 2010).


E. PARAMETER DARI RETIKULOSIT

Dengan metode flowcytometer akan memungkinkan pengukuran parameter retikulosit yang lebih banyak diantaranya adalah retikulosi tsel volume (MCVr), kosentrasi hemoglobin (MCHCr), dan kandungan hemoglobin rerata (CHr). Pada subyek normal, terapi eritropoetin akan meningkatkan MCVr dan menurunkan MCHCr. Dan dengan kadar serum ferritin yang lebih besar dari 100 u/l tidakakan didapatkan adanya retikulosit hipokromik. Pemeriksaan CHr banyak dilakukan pada penderita yang menjalani dialisis. CHr ini menunjukkan sensitifitas 100% dan spesifisitas 80% dan lebih akurat sebagai prediktor untuk mengetahui respon terhadap terapi besi dibandingkan serum feritin atau saturasi transferin. Studi lain menunjukkan dengan base line CHr kurang dari 28 pg mempunyai sensitifitas sebesar 78% dan spesifisitas sebesar 71% untuk mendeteksi adanya eritropoiesis iron-restricted dibandingkan dengan 50% dan 39% untuk pengukuran parameter biokimia yang biasa (Seuga, 2010).





BAB III

METODE PRAKTIKUM


A. PRA ANALITIK

1. Persiapan pasien

Tidak memerlukan persiapan khusus


2. Persiapan sampel

Tidak memerlukan persiapan khusus


3. Metode tes

Pewarnaan Wright


4. Prinsip pemeriksaan

Granula-granula yang halus pad aretikulosit dapat diwarnai dengan biru kresil. Apusan darah dipulas dengan pewarna dan sejumlah eritorsit diamati dibawah mikroskop. Melalui pemeriksaan mikroskopik ini, ditentukan jumlah retikulosit per liter darah atau proporsi retikulosit terhadap eritrosit.


5. Alat dan bahan

a) Alat

Mikroskop

Kaca objek

Kaca pengapus

Tabung reaksi

Rak tabung reaksi

Tally counter (manual)

Pipet tetes

b) Bahan

Sampel darah kapile/vena EDTA

Larutan cresyl blue jenuh


B. ANALITIK

  1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
  2. Dimasukan 3 tetes larutan cresyl blue kadalam tabung reaksi
  3. Ditambahkan 3 tetes darah EDTA kedalam tabung reaksi yang berisikan larutan cresyl blue tadi
  4. Dikocok tabung pelan-pelan untuk menghomogenkan larutan yang ada didalamnya. 
  5. Diinkubasi selama 15 menit.
  6. Dipipet setetes larutan tersebut dan pindahkan ke kaca objek untuk membuat apusan
  7. Dengan kaca pengapus, buat apusan tipis dari tetesan tersebut, kemudian diamkan apusan hingga kering.
  8. Periksa apusan dengan objektif 100x, memakai minya imersi. Amati bagian ujung apusan tempat eritrosit-eritrosit terpisah satu sama lain; eritorsit akan tampak berwarna biru pucat. Periksa minimal 100 eritrosit, hitung dengan teliti jumlah eritrosit total dan jumlah retikulosit yang ditemukan di antaranya.
  9. Presentase dari jumlah retikulosit

Kadar retikulosit (%) = 

Retikulosit per μL darah : Kadar % x jumlah eritrosit per μL darah


C. PASCA ANALITIK

Nilai Rujukan

Dewasa : 0,5 – 1,5%

Bayi baru lahir : 2,5 – 6,5%

Bayi : 0,5 – 3,5%

Anak : 0,5 – 2,0%



BAB IV

PEMBAHASAN

Pada kegiatan praktikum Hematologi III ini dilakukan praktikum pemeriksaan hitung jumlah retikulosit dengan menggunakan cara manual yaitu menggunakan larutan pewarna brilliant cresyl blue. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui jumlah dari sel retikulosit sehingga dapat membantu dalam diagnosa anemia. 

Retikulosit adalah sel darah merah yang masih muda yang tidak berinti dan berasal dari proses pematangan normoblas di sumsum tulang. Sel ini mempunyai jaringan organela basofilik yang terdiri dari RNA dan protoforpirin yang dapat berupa endapan dan berwarna biru apabila dicat dengan pengecatan biru metilin. 

Retikulosit merupakan parameter yang umum digunakan sebagai penentu keberhasilan terapi pada anemia defisiensi besi, yang menunjukkan respon fisiologis tubuh dengan meningkatkan produksi sel darah merah.

Adapun prinsip dari pemeriksaan ini yaitu, granula-granula yang halus pad aretikulosit dapat diwarnai dengan biru kresil. Apusan darah dipulas dengan pewarna dan sejumlah eritorsit diamati dibawah mikroskop. Melalui pemeriksaan mikroskopik ini, ditentukan jumlah retikulosit per liter darah atau proporsi retikulosit terhadap eritrosit.

Hal pertama yang dilakukan adalah disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan. Alat yang digunakan pada pemeriksaan yaitu, mikroskop, kaca objek, kaca pengapus, tabung reaksi, rak tabung reaksi, tally counter (manual) dan pipet tetes. Bahan yang digunakan pada pemeriksaan retikulosit adalah sampel darah kapile/vena EDTA dan larutan cresyl blue jenuh.

Langkah pertama yang dilakukan adalah dilakukan pengambilan darah vena menggunakan spoit spoit 3 cc dan masukkan kedalam tabung EDTA. Sampel darah yang digunakan adalah darah EDTA, darah EDTA adalah darah yang diberikan antikoagulan untuk menghindari terjadinya pembekuan darah ketika pemeriksaan berlangsung.

Adapun cara kerja pada pemeriksaan retikulosit adalah dimasukan 3 tetes larutan cresyl blue dan 3 tetes darah EDTA kadalam tabung reaksi. Larutan cresyl blue berfungsiuntuk mewarnai inti dari retikulosit sehingga nanti ketika diamati dibawah mikroskop inti dari retikulosit akan berwarna biru. Kemudian larutan tersebut dihomogenkan dengan cara dikocok tabung pelan-pelan. Kemudian diinkubasi selama 15 menit, hal ini bertujuan agar inti dari sel retikulosit dapat terwarnai dengan sempurna. Selanjutnya, dipipet setetes larutan tersebut dan pindahkan ke kaca objek untuk membuat apusan, dengan kaca pengapus, buat apusan tipis dari tetesan tersebut, kemudian diamkan apusan hingga kering. Dan periksa apusan dengan objektif 100x, memakai minya imersi. Amati bagian ujung apusan tempat eritrosit-eritrosit terpisah satu sama lain; eritorsit akan tampak berwarna biru pucat. Periksa minimal 100 eritrosit, hitung dengan teliti jumlah eritrosit total dan jumlah retikulosit yang ditemukan di antaranya. Kemudian jumlah tersebut dimasukkan dalam rumus presentase dari jumlah retikulosit.

Adapun hasil dari pemeriksaan sel retikulosit pada pasien yaitu didapatkan hasil 0,2%.

Adapun fakto-faktor yang dapat mempengaruhi temuan laboratorium yaitu,

  1. Bila hematokritnya rendah maka perlu untuk ditambahkan darah
  2. Cat yang tidak disaring menyebabkan pengendapat cat pada sel-sel eritrosit sehingga terlihat seperti retikulosit
  3. Menghitung di daerah yang terlalu padat
  4. Peningkatan kadar glukosa akan mengurangi pewarnaan

Adapun sumber kesalah yang dapat terjadi dalam pemeriksaan retikulosit adalah:

  1. Tahap Pra Analitik

Pada pengambilan sampel darah vena

  • Menggunakan jarum dan spoit yang basah
  • Menggunakan ikatan pembendung terlalu kuat dan lama, sehingga menyebabkan hemokonsentrasi
  • Terjadinya bekuan dalam spuit karena lambatnya kerja
  • Terjadinya bekuan dalam botol karena darah tidak tercampur tepat dengan antikoagulan

2. Tahap Analitik

Pada pembuatan darah apus

Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakberhasilan dalam pembuatan darah apus yaitu:

  • Darah yang cepat menggumpal atau mongering saat diteteskan pada kaca objek
  • Kurangnya pengalaman dan kesabaran praktikan
  • Ketebalan apusan juga dapat mempengaruhi sel
  • Lama waktu dalam pewarnaan juga dapat berpengaruh, karena daya serap jaringan berbeda
  • Cat yang tidak disaring akan membentuk endapat pada eritrosit
  • Perubahan pH cat kea rah asam akan menyebabkan reticulum berbentuk granula halus, sedangkan perubahan kea rah alkali akan menyebabkan reticulum berbentuk noktah

3. Tahap Pasca Analitik

Pada tahap ini didapatkan hasil perhitungan retikulosit, namun perlu diperhatikan juga hal-hal yang dapat menimbulkan kesalahan penghitungan sebagai berikut:

  • Pengendapan cat pada eritrosit akan tampak sebagai retikulosit, sehingga kemungkinan terhitung sebagai retikulosit
  • Benda inklusi pada eritrosit ditafsirkan sebagai retikulosit, misalnya basofilik stipling


BAB V
PENUTUP 
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil yang didapatkan pada pemeriksaan retikulosit ini yaitu 0,2%, dapat disimpulkan bahwa pasien tidak menderita anemia karena kadar retikulositnya berada pada range kurang dari nilai normalnya.

B. SARAN
Diharapkan untuk kedepannya pada proses praktikum, para praktikan dapat bekerja dengan lebih tenang dan teliti.










DAFTAR PUSTAKA

Bararah, S Azizi dkk. 2017. Implementasi Case Based Reasoning untuk Diagnosa Penyakit Berdasarkan Gejala Klinis dan Hasil Pemeriksaan Hematologi dengan Probabilitas Bayes (Studi Kasus: Rsud Rejang Lebong). Bengkulu: Universitas Bengkulu.

Handayani, Wiwik dan Haribowo, S Andi. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Hematologi. Jakarta: Salemba Medika.

Ivana, L Zefika dan Gunawan, S Lucia. 2019. Perbedaan Jumlah Retikulosit Sebelum dan Sesudah Pemberian Tablet Tambah Darah. Surakarta: Universitas Setia Budi Surakarta.

Kurniawan, F Bakri. 2014. Hematologi Praktikum Analis Kesehatan. Jakarta: EGC.

Maharani, R Dewi, dkk. 2017. Perbedaan Hitung Jumlah Trombosit Metode Impedansi, Langsung Dan Barbara Brown. Semarang: Universitas Muhammadiyah Semarang.

Rubenstain, David dkk. 2007. Lecture Notes: Kedokteran Klinis Edisi Keenam. Penerbit Erlangga.

Sandry, M Ika dan Andriastuti, Murti. 2019. Laporan kasus berbasis bukti Peran Reticulocyte Hemoglobin Content (RET-He) dalam Mendeteksi Defisiensi Besi pada Anak. Jakarta: Universitas Indonesia.

Seuga, Ketut. 2010. Aplikasi Klinis Retikulosit. Denpasar: Universitas Udayana.



















Tidak ada komentar:

Posting Komentar